Latest Games :

Home » » Happy Living Forever + (Versi Indonesia)

Happy Living Forever + (Versi Indonesia)

Kamis, 08 Maret 2012 | 0 komentar

Happiness is the livelihoods of almost everyone. Whether it's working, marriage, prayer and other activities of life, it all boils down to the ocean is called happiness. You should do a survey on the roadside, perhaps all normal human beings want happiness. Similarly, the enormity of the attractiveness of happiness, so many people who want to achieve with the costs and expenses of any kind. So, be expected to live like a trip boils down to happiness.
However, despite a goal from the old man, and man has spent energy, time and funds are very large, there still remains a lot of people who are not satisfied with it. In many corners of life even occur, there is little life is just wallowing in tears. Corner-corner like this are not only available in the poor slums, but also occur at the elite housing complete with a luxury car.
Last fact as it teaches us, that the laughter and the tears do not recognize the barrier property. Both can occur at any level and in any property. So, is there something that characterizes the presence of laughter and tears? Borrowing Down Hugh argument - as quoted by the author of A Cup of Chicken Soup For the Soul - 'people are happy not someone who is in a particular state, but rather a person with the specific attitude'.
If the observed final argument, not a point the importance of the state (read: the treasure, throne and other circumstances) but the attitude is we who determine how much longer can we have life happiness. With the right attitude, not rich or poor, high or low position, in a city or village, it opened the door of happiness are the same width by God.
The problem is, very few people who seek happiness through pathways attitude. Generally, people were chasing him in the state sector. So, be the last activity as the pursuit of activities that do not recognize the skyline late. Or like chasing his own shadow.
Because of the demands of work and living habits to always hang out on top and below, I often meet people who are made miserable by the excessive desire to achieve certain circumstances. Driven by a cruel machine named desire, be a body and her life as a fast-moving car but no driver. Often until the desired state is. However, expenses paid and very very expensive. Not rare, the cost is their own lives.
Somewhat different from the search, property search, and the throne, there are some people I know who focused most of its energy in the improvement and development of attitudes. The focus is not a situation that is out there, but the attitude that comes from in here. Certainly not easy, especially at first. And I myself still learning. However, once the region already possessed this attitude, happiness is not the goods are very rare and expensive.
Call it a wonderful character named Helen Keller. It has a state in which his eyes can not see. However, more than half his time is filled with faces full of smiles. Likewise, Mother Theresa, the majority of his life surrounded by diseased people in poor neighborhoods. But, anyway, he could have the old age and length. Buddhist treasures and even left the throne to reach enlightenment. Actually there are other examples that are too long to tell here.
Clearly, the crucial key sikaplah on the way to happiness. In this regard, there is a Chinese proverb that caught my attention. The saying is very simple sounds. If you want happiness. For an hour - go to sleep during it. For a day - go fishing. For a month - get married again. For a year – inherit treasure. For a lifetime - please someone else.
I had long focused on a simple maxim last. The more he be explored, the more I was brought into the circuit of such an understanding of the complete happiness and wonderful. Attitude, that is upstream from the river of happiness. The more so if the last position are translated into attitude diligent help and helping others. River of happiness would be the river that never knew dry.
Somehow you define the phrase 'please others'. I know a friend who is rich in material and life ended admirable. When he was alive, often celebrated his birthday in orphanages and nursing homes in turn. Having foster children everywhere. Spoken so gentle. Errors reminds me very fit and never hurt. Lots of friends - including me - such a loss when he died.
All this reminds me and like you, be positive, and we too have come to the state of happily ever after.
When the All Things are done well, the journey is the reward - so one of my meditation teacher once said.

Source             : Gede Prama






Hidup Bahagia Selamanya
Oleh: Gede Prama

Kebahagiaan adalah mata pencahariaan hampir setiap orang. Entah itu bekerja, menikah, berdoa dan kegiatan hidup lainnya, semuanya bermuara pada samudera yang bernama kebahagiaan. Boleh Anda lakukan survey di pinggir jalan, mungkin semua manusia normal menginginkan kebahagiaan. Demikian dahsyatnya daya tarik kebahagiaan, sehingga banyak orang yang mau mencapainya dengan ongkos dan biaya yang sebesar apapun. Maka, jadilah hidup seperti perjalanan yang diharapkan bermuara pada kebahagiaan.
Akan tetapi, kendati sudah menjadi tujuan manusia sejak lama, dan manusia sudah menghabiskan tenaga, waktu dan dana yang teramat besar, masih saja tersisa banyak sekali orang yang tidak puas akan hal ini. Di banyak pojokan kehidupan bahkan terjadi, ada tidak sedikit kehidupan yang hanya bergelimang air mata. Pojokan-pojokan seperti ini tidak hanya tersedia di tempat miskin yang kumuh, melainkan juga terjadi di perumahan elit lengkap dengan mobil mewahnya.

Kenyataan terakhir seperti mengajarkan ke kita, bahwa tawa dan air mata tidak mengenal sekat-sekat harta. Keduanya bisa terjadi pada tingkatan harta berapapun dan di manapun. Lantas, adakah sesuatu yang menjadi ciri khas hadirnya tawa dan air mata ? Meminjam argumen Hugh Down - sebagaimana dikutip penulis buku A Cup of Chicken Soup For the Soul - 'orang yang berbahagia bukanlah seseorang yang berada dalam suatu keadaan tertentu, melainkan seseorang dengan perangkat sikap tertentu'.
Kalau dicermati argumen terakhir, point pentingnya bukanlah keadaan (baca : harta, tahta dan keadaan lainnya) melainkan perangkat sikap kitalah yang lebih menentukan seberapa lama umur kebahagiaan bisa kita miliki. Dengan perangkat sikap yang tepat, mau miskin atau kaya, jabatan tinggi atau rendah, di kota atau di desa, semuanya dibukakan pintu kebahagiaan yang sama lebarnya oleh Tuhan.

Persoalannya, jarang orang yang mencari kebahagiaan melalui jalur-jalur sikap. Umumnya, orang mengejarnya di sektor keadaan. Maka, jadilah kegiatan terakhir seperti kegiatan mengejar kaki langit yang tidak mengenal akhir. Atau seperti mengejar bayangan sendiri.
Oleh karena tuntutan pekerjaan, serta kebiasaan hidup untuk senantiasa bergaul di atas maupun di bawah, tidak jarang saya bertemu orang yang dibuat sengsara oleh nafsu berlebihan untuk mencapai keadaan tertentu. Didorong oleh mesin kejam yang bernama keinginan, jadilah tubuh dan hidupnya seperti mobil yang bergerak cepat tapi tanpa sopir. Kerap sampai dalam keadaan yang diinginkan memang. Tetapi, ongkos yang dibayarnya amat dan teramat mahal. Tidak jarang terjadi, ongkosnya adalah kehidupan mereka sendiri.
Agak berbeda dengan pencari-pencari harta dan tahta, ada sejumlah orang yang saya kenal yang memusatkan sebagian besar energi dalam perbaikan dan pengembangan sikap. Fokusnya memang bukan keadaan yang ada di luar sana, melainkan sikap yang muncul dari dalam sini. Tidak mudah tentunya, terutama pada awalnya. Dan saya sendiri masih dalam tahap belajar. Namun, begitu wilayah sikap ini sudah terkuasai, kebahagiaan bukanlah barang yang teramat langka dan mahal.

Sebutlah seorang tokoh mengagumkan yang bernama Helen Keller. Ia memiliki keadaan dalam bentuk matanya yang tidak bisa melihat. Akan tetapi, separuh lebih waktunya diisi dengan raut muka yang penuh dengan senyum. Demikian juga dengan Bunda Theresa, hidupnya sebagian besar dikelilingi orang-orang berpenyakit di lingkungan miskin. Akan tetapi, toh beliau bisa memiliki umur tua dan panjang. Buddha bahkan meninggalkan harta dan tahta untuk mencapai pencerahan. Sebenarnya masih ada contoh lain yang terlalu panjang untuk diceritakan di sini.
Yang jelas, sikaplah kunci yang amat menentukan dalam perjalanan menuju kebahagiaan. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah pepatah cina yang menarik perhatian saya. Pepatah tersebut berbunyi amat sederhana. Jika kau menginginkan kebahagiaan. Untuk sejam - tidurlah selama itu. Untuk sehari - pergilah memancing. Untuk sebulan - menikahlah lagi. Untuk setahun - warisi
harta. Untuk seumur hidup - tolonglah orang lain.
Lama sempat saya terpaku pada pepatah sederhana terakhir. Semakin ia didalami, semakin saya dibawa ke dalam rangkaian pemahaman tentang kebahagiaan yang demikian lengkap dan mengagumkan. Sikap, itulah hulu dari sungai kebahagiaan. Lebih-lebih kalau sikap terakhir dijabarkan ke dalam sikap rajin membantu dan menolong orang lain. Sungai kebahagiaan akan menjadi sungai yang tidak pernah mengenal kering.
Entah bagaimana Anda menjabarkan kalimat 'tolonglah orang lain'. Saya mengenal seorang sahabat yang kaya secara materi dan hidupnya berakhir mengagumkan. Ketika beliau masih hidup, sering kali merayakan ulang tahunnya di panti asuhan dan panti jompo secara bergantian. Memiliki anak asuh di mana-mana. Tutur katanya demikian lemah lembut. Mengingatkan kesalahan saya secara amat pas dan tidak pernah menyakiti hati. Banyak sekali sahabatnya - termasuk saya - yang demikian kehilangan ketika beliau meninggal dunia. Semua ini seperti mengingatkan saya dan Anda, bersikaplah yang positif, dan kitapun sudah sampai pada keadaan bahagia selamanya. When all things are done well, the journey is the reward - demikian salah seorang guru meditasi saya pernah berucap.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Review The LIfe - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger